Sekolah itu tak seseram yang ku bayangkan, pun tak seindah
yang ku impikan
Hari
itu, aku berhadapan dengan kepala sekolah, orang yang bertanggung jawab dengan
sekolah ini, ia menyajikan data-data nilai mata pelajaran ekonomi hasil UN
beberapa tahun lalu hingga tahun ini, mulai dari tahun 2005-2008, dan beberapa
catatan terkait mata pelajaran yang akan ku ampu, EKONOMI-AKUNTANSI. Ku
menganalisis data tersebut kesimpulanku : Memprihatinkan.
“itu
nilai yang harus ibuk ubah, pernah dulu beberapa anak IPS tidak lulus UN, semua
terbentur dalam mata pelajaran ekonomi, kualifikasi mata pelajaran ekonomi
begitu buruk di sini, bagaimana strategi ibuk mengubahnya?
Gawat,
aku hanya mahasiswa yang baru lulus, strategi mengajar? tentu aku harus banyak
belajar, aku hanya membaca, aku hanya sekedar tau, aku hanya bisa menghujat,
hal biasa yang di lakukan penonton jika ada kesalahan di setiap pertandingan,
barusan aku sewot (melihat berita di tv beberapa oknum guru yang tertangkap di
kota medan gara-gara membocorkan jawaban UN kepada siswa) dan mulai
mengeluarkan teori-teori, ya hanya retorika saja, tanpa pendalaman, dangkal.
Setengah yakin ku jawab.
“saya
akan mengajar dengan hati pak, saya akan menyentuh hati mereka, menjadi
motivasi buat mereka, lalu menginspirasi mereka supaya mau belajar, dan saya
juga akan selalu belajar menjadi guru yang baik, mohon bimbing dan ingatkan
saya dalam mengajar pak, saya hanya sedikit tau teori mengajar dari PPL dan
pengalaman jadi guru beberapa bulan sebelum wisuda pak, saya akui tidak mudah, tapi saya akan
mengusahakan yang terbaik”
Ah
lega aku mantap, tak menjanjikan apa-apa, yang ku janjikan hanya aku mau
berusaha keras. Itu juga yang ku janjikan dengan diriku sendiri, saat aku
begitu idealis, saat aku begitu bersemangat membuat perubahan di dunia
pendidikan, dan hari ini Allah memberiku kesempatan di tempat ini, di sekolah
islam yang katanya masih murni dan idealis dari pamrih dan katebelece, entahlah
yang ku tau tugasku ke depan tidaklah mudah.
“saya
sangat berharap ibuk dapat menjadi guru yang baik untuk pelajaran ekonomi di
sekolah ini!
Huft..
Aku
langsung mengajar kelas XII IPS, tugasku yang lain membuat analisis soal UN
dari tahun 2005, kemudian mengubahnya dalam bentuk kurikulum untuk bimbingan
belajar mata pelajaran ekonomi, analisis butir soal, membuat skala prioritas
materi, mengembangkan butir soal, dari 40 soal menjadi 200 soal, membuat
program pertemuan, membuat spresifikasi materi, kisi-kisi, lalu mengerucut
menjadi soal uji coba, persiapan UN yang hanya 8 bulan lagi, aku ingat janjiku
mengubah kualifikasi nilai ekonomi dan itu dimulai tahun ini, aku kewalahan
keteteran, tapi menarik, ini tantangan, aku suka tantangan. Beri aku apapun aku
akan belajar.
Memasuki kelas pertama kali, episode tentang Okta
Dadaku
bergemuruh, aku gugup tapi penasaran, Bismillah.. sedikit informasi tentang
kelas XII IPS yang begitu menyeramkan, membuatku gentar, kelas paling ribut,
susah diatur, nilai terendah dalam mata pelajaran apapun, temperamental, bla..
bla.. bla sekumpulan berita menyeramkan yang lain membuat pekat dan gentar di
hatiku, tapi tak menyurutkan langkahku. Ini hari pertama aku mengajar, aku tak
akan mundur, Aku mengucap salam, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas (wuiih..
siswaku atau bapakku yah.. kumisan bok) mereka duduk dengan rapi, penasaran
melihatku di depan kelas, mungkin mereka tak percaya aku adalah guru ekonomi
mereka yang baru, aku cukup maklum dandananku tak selayaknya seorang guru, aku
hanya memakai pakaian sederhana, lebih cocok ke tempat pengajian dari pada ke sekolahan,
aku memakai sandal, gamis, dan ransel (pakaian kebangsaan saat kuliah masih ku
bawa ^___^) aku memperkenalkan diri, membuat kontrak belajar dengan mereka, ku
ingat salah satu poin kontrak belajar kami : boleh makan permen dan minum di
kelas (di ajukan mereka) aku setuju asal tidak mengganggu proses belajar, perjanjian
belajar bersifat mengikat, ku ajukan juga mereka membuat tulisan yang berisi “belajar
paling menyenangkan menurut mereka seperti apa” Kertas-kertas kecil itu ku
jadikan referensi paling berharga untuk mengubah mereka, dan sejauh ini mereka
terlihat manis, meski aku tau beberapa orang sudah mulai nakal dan genit, serta
mulai memanggilku dengan sebutan kakak. Aku tersenyum geli, saat mendengar sekilas
celotehan mereka “Cuma 5 tahun jarak
umur kito dengan ibuk tu, biso lah dak”
Hari-hari
berikutnya lebih seru dari yang ku bayangkan, aku belajar menaklukan anak-anak
Bengal itu dengan berbagai strategi mengajar, aku meneliti, mencatat, menganalis
setiap perilaku murid-muridku dalam sebuah buku, kebiasaan, kelebihan,
kekurangan, strategi, solusi, semua lengkap, setiap hari aku mulai belajar,
menarik sekali, beberapa dari mereka sudah mulai mau duduk memperhatikan saat
aku menjelaskan, ku perhatikan semua sudah memiliki buku catatan, dan walau
tidak lengkap mereka tetap mencatat inti materi yang aku ajarkan.
siswi
putri yang hanya beberapa orang saja, sangat bersahabat, aku juga di daulat
sebagai guru pembimbing mereka dalam program mentoring (program pembinaan
pribadi remaja di sekolah), dan aku telah memegang kartu mereka, aku tau tombol
mana yang harus ku tekan, aku memahami mereka, aku mempelajari mereka, karena
itu mereka nyaman untuk menjadi mereka sendiri, ada yang curhat, menangis, apapun
masalah kadang mereka lebih terbuka denganku dari pada wali kelas mereka
sendiri, bahkan yang lebih parah aku di ajak (dipaksa) memasuki dunia mereka,
aku di ajak makan, nonton bioskop, JJS (jalan-jalan sore), pernah ku coba
menolak mereka “ga malu ya jalan sama ibu-ibu” jawaban mereka bikin aku tak
dapat mengelak “buk.. ibuk tu kalo pake baju SMA masih cocok, ibuk kayak
seumuran dengan kami” nah kalo sudah begini aku tak tega menolak saat mereka
sudah menjemput di depan rumah, aku hanya berkata “oke”. aku di tarik masuk ke
dunia mereka, dunia yang tak pernah ku temui di kampus dulu, aku di jemput
untuk menghadiri ulang tahun mereka, agak risih juga saat tau di luar sana
siswiku tidak mengenakan pakaian yang layak, di depanku mereka bebas menjadi
diri mereka sendiri, memasuki dunia yang sangat baru dan mencengangkan buatku,
dunia memang tak seperti yang ku temui di kampus dulu, semua terlihat baik,
dulu. Kini mataku lebih terbuka, dunia baru yang penuh warna, beberapa bulan
bersama mereka kesimpulanku Cuma satu :menjadi guru itu menarik, kadang jadi
teman, kadang jadi ibu, kadang jadi psikolog, kadang jadi detektif, kadang jadi
dokter (tak jarang aku yang mengobati luka mereka) kadang jadi konsultan, jadi
apa saja.
aku
senang sejauh yang aku bisa, aku sudah membuat perubahan pada mereka, meski
kadang beberapa dari mereka membuatku gerah. Suatu hari seorang anak sebut saja
namanya Okta, badannya bongsor, putih, tinggi, jambang mulai bertonjolan di
mana-mana (dan anehnya dia banggaaa sekali memiliki jambang-jambang itu,
padahal kalo boleh jujur aku muak bin ilfeel minta ampun melihatnya ^__^), saat
aku berkeliling kelas memeriksa latihan mereka, aku melihat Okta nampaknya
mempunyai kesulitan, aku menghampirinya,
“ada
masalah apa? Kesulitannya apa?”
“Buk…
buk... kami mau cerita!
“ya
boleh…”aku berusaha mendengarkan
“bu
semalam ada bintang dua!! Ia mengulum senyum malu memandangku
“trus…”
“satunya
ilang.. eh ada di mata ibuk!!
Semua
kawan satu kelasnya tertawa lepas, ada yang mengangkat bangku, ada yang berdiri
menunjuk-nunjuk Okta sambil tertawa, ada juga yang langsung melempar buku ke arah
Okta, yang lebih parah memukul kepala Okta dengan buku paket yang lumayan
tebal, ada yang berceloteh “woi dul.. guru kau tu.. dasar buayo! Ada juga yang berkata “buayo darat kau tu...
sopan dikit woi... ibuk manis tu untuk aku be! Kepala ku pening, tapi berusaha
untuk tersenyum, Aku diam memandang mereka, itu jurus andalan, jika tak ada
yang diam, maka aku diam memandang mereka satu per satu, dan biasanya jurus itu
ampuh membuat mereka diam, aku ke depan kelas, lalu ku katakan pada mereka “iya
semua kalian di mata ibu adalah bintang, bintang yang akan bersinar, bintang
yang akan membuat orang-orang terpana oleh sinar kalian, ibu yakin,, suatu saat
kalian akan menyinari bukan hanya orang-orang di dekat kalian, tapi kalian akan
bersinar di tempat dimanapun kalian berada, dan di hari itu ibu akan bangga
karena pernah mengenal kalian. Berhasil atau tidak suatu saat kelak, dari
sekarang lah itu semua dimulai, jika hari ini masih malas-malasan, jika hari
ini tak punya tujuan, jika hari ini tak menyiapkan bekal apapun untuk nanti,
bisakah nanti akan bersinar dan bermanfaat untuk orang lain?
Semua
mereka menyimak, entah merasa aku sangat serius kali ini, entah merasa kalimatku
begitu memesona, aku memandang Okta yang tertegun, entah apa di kepalanya, ku
pastikan dia merasakan sesuatu, entah itu rasa malu atau rasa bersalah, yang
jelas matanya tertunduk saat aku memandang ke arahnya. Pura-pura sibuk dengan
pena nya yang tidak apa-apa. Satu pelajaran moral yang ku dapat selama beberapa
hari menjadi guru mereka, hati-hati dengan pria berjambang, tak ada yang beres
meski dia seorang pelajar, dalam film pun yang jadi penjahat selalu orang
berjambang lebat. Ah…
Di
lain kesempatan Okta juga pernah mengulang kata-kata gombal lainnya saat
mengumpulkan tugas di meja guru dia berkata pelan “bu... tau dak hari ini hati
kami berbunga-bunga” aku menarik kursi menjaga jarak darinya, wah ini tidak di
benarkan, “tau dak buk?? Karna ibu ada di depan kami! Ia mengulum senyum, aku
mual, aku memanggilnya berusaha bicara dari hati ke hati, ada masalah apa
dengan pria berjambang ini, sehingga mempermainkan guru seenak hati, semua
tugas akuntansi yang ku berikan tak ada yang beres, di kelas lebih banyak
melamun dari pada memahami pelajaran, ku rasa aku cukup beralasan untuk segera
membuatnya sadar bahwa guru bukan untuk dipermainkan dan belajar jauh lebih
penting, selanjutnya komunikasi antara aku dan dia membuatku ingin meledak,
sampai kedua bola mataku hendak melompat rasanya, sebaalll… ada manusia aneh
begitu ya, saat ku tanyakan “ada masalah apa? Dia menjawab “hati kami yang
bermasalah bu...” aku tetap sabar “ oh ya… kamu baru putus cinta? Sekolah lebih
penting saat ini, UN hanya tinggal beberapa bulan lagi, nanti dulu lah mikirin
hal-hal yang belum penting, ibu minta kamu focus, kalo ada yang mesti kamu
tanyakan jangan ragu ibu selalu siap, kalo kamu mau konsultasi pelajaran yang
belum kamu ngerti! Aku berusaha meyakinkan dengan sabar, tapi jawabannya bikin
aku tak sabar dia mendekap dadanya dan dengan penuh percaya diri dia
meyakinkanku “kami jomblo bu... suer...
sumpah… sambar gledek lah….”
Saat aku
memeriksa latihan mereka, kepalaku tambah pening catatan-catatan kecil di buku
mereka membuatku mual seperti ini misalnya “ibu kalo lagi ngajar manis nian,
ibuk paling kereeeeeeen dah, we love u buk” atau “ ibuk udah punya cowok
belum??? Berikutnya lebih mual “ibu… suara ibu kalo lagi jelasin pelajaran
lembuuuuut niaan, di tambah dengan gambar yang bikin perut mual, ada gambar
hati, berikut di dalam gambar hati tersebut tertulis namaku “ibu dayang”
huaahhh… kok jadi gini yah.. aku tak henti-hentinya beristigfar dalam hati,
kadang sampai terucap lirih di bibirku, Astagfirullah… aku mulai tak nyaman
memasuki kelas itu, hati kecilku yang masih idealis berontak, seumur hidup tak
ada orang yang berani terang-terangan berlaku demikian terhadapku, aku merasa
tersudutkan, di rendahkan oleh siswaku sendiri, tak cukupkah jilbab lebarku
ini, tak cukupkah gamisku ini, menjadi identitas bahwa aku bukan orang yang
bisa di ajak becanda untuk hal semacam ini.
Duniaku
berubah sekarang, aku kaget, jiwaku belum siap, lalu terlintas di kepalaku, apa
aku menikah saja ya! Apa itu solusi terbaik, aku tertunduk, baru beberapa
minggu jadi guru, masa udah nyerah, aku berusaha bercerita dengan guru senior
aku berharap solusi, dan guru tersebut berang sekali, Okta dipanggil menghadap
dan dinasehati, hasilnya ketika aku siap-siap beranjak pulang Okta
beringsut-ingsut menemuiku di ruang guru, masih malu-malu, aku paham, dan
bersedia mendengar permintaan maafnya, aku tak banyak bicara. Ku ingatkan saja
memiliki perasaan kagum dengan seseorang itu wajar, hanya saja bagaimana cara
kita mengagumi orang lain harus di perhatikan, jangan sampai membuat orang lain
merasa terganggu dengan sikap kita, Okta juga memberi kabar baik bahwa dia
sekarang akan belajar sungguh-sungguh, dia sekarang sudah les di luar sekolah,
“do’akan saya bu semoga saya lulus, jangan marah dengan saya bu! Terima kasih
bu sudah menginspirasi saya untuk belajar!”
Beberapa
bulan sebelum UN, sekolah melakukan program yang di sebut pendinginan, siswa di
kumpulkan dan di beri persiapan mental untuk menghadapi semua kemungkinan untuk
menghadapi UN, selain itu ada juga Muhasabah (renungan) yang rata-rata membuat
seluruh siswa menangis, terisak-isak, di
akhiri dengan permintaan maaf kepada seluruh guru, aku tertegun saat Okta
bersimpuh di kakiku, menangis. meminta maaf, ia melakukan hal itu karena aku
tak bersalaman dengan siswa putra, baginya cukuplah perbuatannya itu menunjukan
rasa bersalahnya kepadaku, selama aku menjadi gurunya banyak hal yang sudah ia
lakukan yang membuatku mual tak terhingga, aku meyakinkannya bahwa ke depan
semua nya harus menjadi pelajaran, tak lupa ku katakan Okta harus jadi bintang
yang bersinar kelak.
Komentar
Posting Komentar